Jemeirah Beach DUBAI, 17 Nopember 2012

koleksi foto

23 February 2010

LEBARAN OKTOBER 2007 DI YANGON MYANMAR









Berlebaran Dengan Keluarga Muslim di Yangon, Myanmar

Sungkem ke Orang Tua, Lalu Menyantap Roti CanaiMuslim di Myanmar baru Minggu kemarin (14/10) merayakan Idul Fitri atau sehari lebih lambat dibandingkan di Indonesia. Di negara yang mayoritas warganya beragama Buddha tersebut, tradisi berlebaran tidak jauh berbeda dari Indonesia.
PAGI sekitar pukul 06.00, jalanan Yangon basah oleh gerimis. Saat cuaca tak bersahabat seperti itu, Muhammad Hasyim, warga ibu kota Myanmar, bergegas berjalan ke Masjid M.M. Raunaq. Jarak masjid itu sekitar 300 meter dari rumahnya.
Penampilan Hasyim tampak berbeda pada hari itu. Kalau sehari-hari pria 54 tahun tersebut memasukkan bajunya ke dalam longyi (sarung), kali ini dia mengeluarkan kemejanya. Payung kecil hitam menemani perjalanan untuk melindungi dari guyuran hujan.

Tempat tinggal Hasyim di kawasan Mingalar Taung Nyunt merupakan perkampungan muslim. Sekitar 1.000 warga muslim tinggal di perkampungan itu. Termasuk, Muhammad Rasyid, warga Yangon yang sehari-hari menjadi imam sekaligus ustad di Masjid Al-Mush’ab milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon.
Seperti di tanah air, pagi menjelang salat id itu, suara takbir berkumandang dari pengeras suara di Masjid M.M. Raunaq. Masjid yang berkapasitas 600 orang yang dibangun sejak 1996 itu penuh sesak. Sebagian terpaksa menggelar terpal plastik di jalan depan masjid. Mereka rela menjalankan ibadah sunah tersebut dengan risiko terkena guyuran hujan.

Tepat pukul 06.45, Sulaiman, imam Masjid M.M. Raunaq, memulai salat. Pada rakaat pertama, dia membaca Surat Al-A’la dan pada rakaat kedua membaca Surat Ad-Dhuha. Setelah salat, Sulaiman membaca doa. Kali ini, doanya sangat panjang, seperti doa warga NU saat istighotsah.
Hampir 15 menit dia membaca doa. “Di sini, khusus Idul Fitri, doanya spesial. Sangat panjang. Hari biasa tidak sepanjang ini,” kata Hasyim.
Setelah doa, baru Sulaiman memberikan khotbah berbahasa Arab. “Khusus salat Idul Fitri, khotbahnya pakai bahasa Arab. Kalau salat Jumat, pakai bahasa Myanmar,” jelasnya.

Malam sebelum Idul Fitri, muslim Myanmar juga melakukan takbir. Tapi, tidak berkeliling, hanya di masjid-masjid. Sama seperti di Indonesia, takbir dilakukan usai salat isya hingga menjelang salat id. Hanya, karena kondisi khusus, tahun ini agak berbeda. “Pukul 21.00, takbir sudah berakhir,” katanya.
Tentara Myanmar berkeliling ke masjid-masjid meminta agar takbiran dihentikan. Sebab, pemerintah Myanmar memberlakukan jam malam mulai pukul 22.00 hingga 04.00. Masjid baru bisa melanjutkan takbiran usai jam malam.

Setelah salat id, Jawa Pos mampir ke kediaman Hasyim untuk merasakan suasana Lebaran keluarga muslim di Myanmar. Pemilik nama asli Myint Aung tersebut tinggal di sebuah flat sederhana di Jalan Yetwingone. Dia tinggal di lantai dua flat tersebut. Di rumah yang berukuran sama dengan rumah petak di Jakarta, 3 x 7 meter tersebut, Hasyim tinggal bersama empat anggota keluarganya. Yakni, istri, dua anak, serta mertua perempuan.
Istri Hasyim, Fatimah, 50, serta dua anaknya, Aisyah, 17, dan Hasim (namanya mirip sang ayah), 10, menyambut hangat Hasyim yang pulang dari masjid. Mereka mengenakan baju baru yang dibeli dua hari sebelum hari raya. “Ini tradisi kami, setiap Lebaran mengenakan baju baru,” ujar Hasyim yang kemarin juga mengenakan kemeja serta sarung baru.
Dia dan istri kemudian sungkem kepada Zulaikha, mertuanya. Setelah itu, baru Aisyah dan Hasim sungkem kepada kedua orang tuanya. “Saya punya satu anak perempuan lagi. Dia sudah menikah. Sebentar lagi datang,” kata pria yang berprofesi sebagai sopir taksi tersebut.

Sesi berikutnya adalah makan. Setiap Lebaran, warga muslim di Myanmar punya hidangan khas, yakni kari kambing. Karena keluarga Hasyim keturunan India, dia juga menghidangkan roti canai. Disediakan dua jenis roti canai, yakni tawar dan manis. Kari kambing itu dimakan bersama roti canai sebagai pengganti nasi.
Tak lama kemudian, keluarga Hasyim, adik, dan keponakan-keponakannya datang. Hasyim merupakan anak tertua, sehingga rumahnya dijadikan tempat berkumpul saat Lebaran. Mereka pun langsung menyantap hidangan yang sudah tersaji di ruang tamu.
“Ini makanan favorit kami saat Lebaran. Hampir semua warga muslim di Myanmar menghidangkan makanan ini,” tegas Abdullah, adik ipar Hasyim.

Di Myanmar tidak ada tradisi mudik. Keluarga yang tinggal di luar kota tidak pulang kampung. Beberapa di antaranya hanya mengucapkan selamat Lebaran melalui telepon. “Kami tidak punya tradisi seperti di Indonesia,” ungkapnya.
Acara berlebaran hanya terjadi saat pagi. Siangnya, warga muslim kembali beraktivitas seperti biasa. Hasyim kembali pergi dengan taksinya untuk mencari kyat (mata uang Myanmar). Yang lain pun kembali sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kebetulan kemarin Minggu, sehingga anak sekolah dan pegawai pemerintah tetap di rumah.

Bagaimana warga muslim Indonesia di Myanmar? Warga muslim Indonesia di Myanmar merayakan Lebaran mengikuti kalender Indonesia, yakni 13 Oktober. Mereka melakukan salat id di Balai Mitra, kompleks KBRI Yangon. Salat id di KBRI dimulai pukul 07.00 dipimpin imam M. Rasyind dan khotib Rahman Priaelmu, dengan jamaah para staf KBRI dan keluarga serta masyarakat muslim Indonesia berjumlah lebih kurang 200 orang

Setelah salat, semua warga Indonesiajuga yang non muslim ikut hadir bersilaturahmi dengan pimpinan dan staf KBRI Yangon. Menu khas Lebaran seperti ketupat serta opor ayam tersaji lengkap dengan sambal goreng rempelo ati dan emping melinjo. Suasananya persis suasana Lebaran di Indonesia.

Sejumlah pengusaha Indonesia di Myanmar pun hadir dalam silaturahmi tersebut. Di antaranya, pengusaha alat berat Eddy Susatyo, bos Japfa Maykha Industries Johnatan Adi Gunawan, dan bos United Machinery Co Ltd Harry K. Aliwarga.

Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Yangon Bapak Philemon Arobaya hadir, juga Home staf lainnya Counsellor Pensosbud Bapak Tambah Gunawan SH yang akan selesai tugas di KBRI Yangon pada tanggal 1 Nopember 2007, hadir lainnya Athan Kol. Dedi, Protokol Konsuler Adi Kuntarto dll.

Bapak Philemon Arobaya seharusnya pulang ke Indonesia pada 11 Oktober lalu. Istri dan anaknya lebih dulu pulang ke tanah air. Tapi, Deplu di Jakarta tidak mengizinkan pejabat sementara Dubes Indonesia itu meninggalkan Yangon.
Philemon menjelaskan, Lebaran tahun ini sedikit berbeda dari tahun sebelumnya. Biasanya lebih banyak warga Indonesia yang hadir. “Selain hujan, mungkin karena hari ini bertepatan dengan unjuk rasa projunta,” katanya. Selesai silaturahmi disetiap rumah Home Staf diadakan "open house" dan juga saling berkunjung ke masing2 rumah seperti suasana lebaran di Indonesia.(*)( JAWA POS, 16 OKTOBER 2007 )

No comments:

Post a Comment