Jemeirah Beach DUBAI, 17 Nopember 2012

koleksi foto

24 December 2009

BUKU : MENGUNGKAP KEJAYAAN KERAJAAN MAJAPAHIT


JUDUL BUKU : IBUKOTA MAJAPAHIT, MASA JAYA DAN PENCAPAIAN
PENULIS : AGUS ARIS MUNANDAR
CETAKAN : I, 2008

Cerita mengenai kebesaran dan kemegahan Kerajaan Majapahit pada abad ke 14-15 Masehi kembali menjadi perbincangan. Proyek pembangunan Pusat Informasi Majapahit di Situs Trowulan Mojokerto, Jawa Timur, untuk menyelamatkan situs dan benda-benda cagar budaya dari kerusakan, justru memakan korban situs itu sendiri. Situs Trowulan diperkirakan merupakan satu-satunya situs kota permukiman masa lalu di Indonesia. Di daerah ini terkubur bekas Kerajaan Majapahit.

Tafsiran mengenai posisi sesungguhnya arah Keraton Majapahit menjadi bagian menarik yang diulas buku ini. Para peneliti Situs Trowulan tampaknya keliru menafsirkan arah mata angin letak Keraton Kerajaan Majaphit seperti yang dimaksud Mpu Prapanca dalam karya satra Kakawin Nagarakrtagama.
Sayangnya aktivitas masyarakat setempat yang menggerus situs Trowulan menyebabkan data untuk membuktikan bahwa Mpu Prapanca telah "memutar" arah mata angin ikut tergerus.
( Disusun oleh:T.Gunawan )

BUKU : DAMPAK PEMANASAN GLOBAL TERHADAP KESEHATAN MASYARAKAT


Pemanasan global membawa dampak bagi kesehatan masyarakat Indonesia. Suhu bumi yang makin panas mempengaruhi kemampuan 'survival' dan daya jelajah sejumlah virus penyebab infeksi.
Kondisi ini mendorong timbulnya berbagai penyakit infeksi baru, seperti SARS dan flu burung.

Selain perubahan iklim, terdapat sejumlah masalah penting kesehatan masyarakat dewasa ini. Permasalahan tersebut adalah dampak globalisasi, kesenjangan (disparitas) kesehatan antar wilayah dan antar status sosial ekonomi, masalah kesehatan pulau-pulau terpencil, perubahan kebijakan kesehatan di era desentralisasi, serta penanganan kesehatan masyarakat dalam situasi bencana alam yang sering melanda Indonesia.

Bidang teknologi menjadi hal yang tidak kalah pentingnya dalam mengelola masa depan masyarakat .Teknologi genetik ini bisa memprediksi sejauh mana seseorang mempunyai resiko menderita suatu penyakit.
( Disarikan oleh : T .GUNAWAN )

Sumber Buku : "Horison Baru Kesehatan Masyarakat di Indonesia" oleh Umar Fahmi Achmadi
Cetakan I, 2008.

05 November 2009

TEGAL DAN BANYUMAS LUPA BAHASA IBUNYA...



KEINDONESIAAN JAWA TENGAH/DI YOGYAKARTA (2)

Tegal dan Banyumas Lupa Bahasa Ibunya...

KOMPAS Rabu, 4 November 2009 | 03:36 WIB

Oleh Siwi Nurbiajanti/Susana Rita

Ada resah dalam diri penulis novel dan budayawan asal Banyumas, Ahmad Tohari. Keresahan yang dialami beberapa tahun belakangan ini saat melihat keluarga muda di Purwokerto, Jawa Tengah, mulai enggan menggunakan dan mengajarkan bahasa Jawa dialek Banyumasan yang ngapak-ngapak.

Ada beragam alasan untuk meninggalkannya. Padahal, bahasa Jawa yang didominasi dengan penggunaan vokal A ini adalah turunan asli bahasa Jawa kuno dan sarana komunikasi yang demokratis.

Fajar Satriawan (25), warga Kelurahan Mintaragen, Kecamatan Tegal Timur, Kota Tegal, juga tidak mewajibkan keluarganya memakai bahasa Jawa dialek Tegalan. Baginya, menggunakan bahasa Jawa Tegalan kurang efektif untuk berkomunikasi karena istrinya yang berasal dari Kabupaten Jepara, Jateng. Bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi sehari-hari bagi pasangan muda itu.

Pasangan itu pun memutuskan tak perlu mengajarkan bahasa Jawa Tegalan kepada anak mereka. Hanya beberapa kosakata yang dikenalkan kepada anaknya.

Demikian pula Oki Lukmansyah, warga Jalan Ayam, Kota Tegal, yang juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa harian. Meski memiliki akar dari Tegal, Oki yang tumbuh di Jakarta mengaku mengalami kompleksitas tersendiri ketika harus berbahasa Tegal.

Fenomena serupa sebenarnya juga tampak di keluarga muda yang tinggal di kompleks perumahan Purwokerto. Liliek, misalnya, penghuni sebuah perumahan di kawasan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), pun mengaku lebih suka berkomunikasi dengan bahasa Indonesia atau Jawa Wetanan (Jawa dialek Solo-Yogyakarta). Ia memang pendatang di Purwokerto. Meski tinggal di ”Kota Mendoan” itu selama lebih dari 10 tahun, bahasa Jawa dialek Banyumasan tak juga menggantikan bahasa ibunya. Kepada anaknya, ia suka mengajarkan bahasa Jawa Wetanan meski beristri asli orang Banyumas.

Ahmad Tohari mengungkap lebih jauh alasan orang muda enggan menggunakan bahasa ngapak-ngapak itu. ”Malu,” katanya mengutip pengakuan kawannya yang seorang dokter.

Mengapa malu? ”Barang kali karena bahasa ini sering diidentikkan dengan bahasa pelawak atau babu (pekerja rumah tangga). Orang malu menggunakannya,” tambahnya.

Penulis novel Ronggeng Dukuh Paruk itu menyatakan, gejala itu adalah ancaman serius bagi keberlangsungan dialek Banyumasan. Hal serupa juga dikemukakan budayawan Tegal, Yono Daryono. Yono melihat hal itu sebagai tanda kepunahan dialek Tegalan. ”Sudah di ujung tanduk,” ungkapnya.

Yono menuding pendidikan dasar menyumbang peran pada ancaman kepunahan itu. Pasalnya, guru sekolah dasar (SD) tak lagi menggunakan bahasa lokal sebagai pengantar dalam pembelajaran. Tak hanya di kelas pertama SD, guru taman kanak-kanak (TK) pun lebih banyak yang kini menggunakan bahasa nasional sebagai pengantar sehari-hari.

Akhirnya, hal ini pun diikuti orangtua. Daripada anaknya tak mampu berbahasa Indonesia di sekolah, mereka memilih mengajar bahasa nasional itu dibandingkan dengan bahasa ibunya.

Kenyataan ini berbeda dengan masa kecil Yono, sekitar setengah abad silam. Ia mengaku, dirinya masih mendapatkan bahasa pengantar bahasa Jawa dialek Tegalan saat mengikuti pendidikan dasar. Setidaknya hal itu berlangsung hingga dirinya menginjak kelas III SD.

”Kalau kondisinya begini, mungkin umur dialek Tegalan tinggal 10 tahun lagi,” ujar Yono.

10 juta pemakai

Meski berangsur terkikis, dialek Banyumasan dan Tegalan masih digunakan di beberapa kabupaten di Jateng selatan dan pantai utara (pantura). Ahmad Tohari memprediksi, setidaknya terdapat 10 juta pemakai yang tersebar di Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo bagian selatan, Brebes, dan Tegal (baik kota maupun kabupaten).

Dialek Banyumasan dan Tegalan sebenarnya memiliki arti penting dalam sejarah bahasa Jawa. Menurut Ahmad Tohari, kedua dialek ini adalah turunan asli dari bBahasa Jawa kuno. Sejak berabad lampau bahasa Jawa kuno didominasi bunyi vokal ”a”, berbeda dengan bahasa Jawa Yogyakarta-Solo yang lebih didominasi vokal ”o”.

Berdasarkan referensi yang dimilikinya, Tohari yakin bahasa Jawa dengan vokal ”o” (Yogyakarta-Solo) adalah bahasa baru yang sengaja dikembangkan oleh Kerajaan Mataram sejak akhir abad ke-16. ”Sebetulnya pengembangan bahasa baru ini dimulai sejak akhir Kerajaan Pajang. Taling tarung (tanda baca untuk vokal ’o’ untuk huruf Jawa) sebenarnya munculnya belakangan,” kata Ahmad Tohari.

Pengembangan bahasa baru ini, kata dia, adalah bagian politik penguasaan yang dilakukan Mataram. Bahasa dipolitisasi sedemikian rupa untuk menciptakan kelas sosial dengan menempatkan bahasa Jawa baru (vokal ”o”) sebagai bahasa berkelas tinggi.

Bahasa Jawa kuno yang pada akhirnya nanti berkembang menjadi dialek Banyumasan dan Tegalan adalah bahasa asli yang digunakan oleh petani dan pedagang (kelas orang kecil).

”Dialek Banyumasan itu memang awalnya bahasa petani. Orientasinya pun populis, ke bawah. Beda dengan bahasa Jawa anyar yang orientasinya elitis. Orientasi ke bawah ini yang kita ganduli (pertahankan). Kehidupan di negeri ini sekarang butuh orientasi ke bawah sekaligus untuk menghabisi feodalisme Jawa yang agak kurang ajar itu,” kata Ahmad Tohari.

Ada perasaan tertindas yang menggelayuti rasa dan pikiran Yono dan Ahmad Tohari ketika harus bicara mengenai bahasa daerahnya. Rasa tertindas oleh orang Solo-Yogyakarta, terutama oleh anggapan bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Solo lebih halus dan tinggi dibandingkan dengan dialek Banyumas dan Tegal.

Perasaan keterjajahan oleh Kerajaan Mataram masih membekas meski masa itu sudah berakhir sejak 1830, bersamaan berakhirnya perlawanan Pangeran Diponegoro. Rasa itu kian mengusik ketika mendapati kenyataan pengajaran bahasa Jawa di sekolah formal adalah bahasa Jawa Solo-Yogyakarta. Pengajaran bahasa Jawa jenis itu adalah hal wajib di seluruh Provinsi Jateng.

Apabila Yono lebih resah pada sistem pengajaran formal di sekolah, Ahmad Tohari justru gemas melihat orang Banyumas sendiri yang mulai meninggalkan bahasanya.

26 September 2009

" IDULFITRI DAN KEHIDUPAN BARU " OLEH T.GUNAWAN RAZUKI





" IDULFITRI DAN KEHIDUPAN BARU "

OLEH: T.GUNAWAN RAZUKI - BUMIAYU BREBES JATENG INDONESIA
20 SEPTEMBER 2009



HARI Raya Idul Fitri datang lagi. Umat Islam di
seluruh dunia merayakannya dengan ritus dan tradisi
masing-masing. Idul Fitri menandai berakhirnya ibadah
puasa Ramadan, sekaligus mengawali kehidupan baru yang
lebih baik daripada kehidupan sebelumnya.

Umat Islam di Indonesia merayakan Idul Fitri dengan
tradisi berlebaran yang semarak. Di antara sanak
keluarga dan sesama muslim saling mengunjungi,
bermaafan, dan bersilaturahmi. Semuanya selalu
berlangsung indah, rukun, dan damai. Segala kesalahan,
kekhilafan, dan prasangka buruk dilebur dalam semangat
Idul Fitri.

Warga yang tinggal di kota pulang ke desa, mudik,
untuk menemui sanak keluarganya. Ada yang dengan
gampang mudik, tapi banyak di antara mereka yang harus
berjuang keras mengatasi berbagai kendala untuk
menemui sanak saudara di kampung halaman. Tradisi
mudik dan bersilaturahmi pada akhirnya tidak hanya
menjadi milik umat Islam. Umat agama lain pun dengan
sukarela ikut merayakannya. Mudik di Idul Fitri tidak
hanya milik umat Islam, tapi menjadi bagian dari
tradisi bangsa Indonesia.

Dari perspektif kebangsaan, Idul Fitri menjadi perekat
ampuh persatuan antarumat Islam, antara masyarakat di
perkotaan dan pedesaan, bahkan antarumat beragama.
Uluran tangan, saling memaafkan, menjadi pemandangan
selama Idul Fitri dan hari-hari selanjutnya di
rumah-rumah dan perkantoran.

Dari perspektif ekonomi, tradisi mudik secara tidak
langsung menciptakan trickle down effect. Peredaran
uang, yang selama setahun lebih banyak berputar di
perkotaan, sesaat di keramaian Idul Fitri bergeser ke
pedesaan. Di kalangan umat Islam sepanjang Ramadan
juga berlangsung pemberian zakat fitrah dan penyaluran
sedekah dari golongan yang mampu kepada fakir miskin,
kaum duafa, dan yatim piatu.

Kondisi damai, saling membantu, saling memaafkan, dan
saling mengasihi selama Idul Fitri sungguh
menyejukkan. Alangkah indahnya jika kondisi ini tidak
berhenti di sekitar Idul Fitri, tetapi berlangsung
terus sepanjang tahun. Harapan ini tidak berlebihan
karena Islam mengajarkan kualitas ibadah Ramadan
seseorang akan tecermin dalam kehidupan nyata pada
hari-hari setelah Idul Fitri. Tiada arti ibadah selama
satu bulan suntuk apabila di hari-hari setelah Ramadan
berlalu tidak ada peningkatan kualitas ibadah,
termasuk ibadah sosial.

Jika harapan itu terwujud, itulah berkah Ramadan dan
Idul Fitri, sekaligus sumbangsih umat Islam terhadap
penciptaan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh
bangsa. Hal itu juga menunjukkan Islam benar-benar
rahmatan lil 'alamin, memberi rahmat bagi seluruh
alam.

Di saat bangsa ini tengah mengalami kebuntuan untuk
keluar dari krisis multidimensi, nilai-nilai Ramadan
dan Idul Fitri bisa menjadi salah satu 'terapi'
terbaik. Tentu, syaratnya, nilai-nilai itu
diaktualisasikan sungguh-sungguh dalam kehidupan.
Nilai-nilai Ramadan dan Idul Fitri selain mengajarkan
saling memaafkan dan saling mengasihi, juga
mengajarkan kejujuran, toleransi, kehidupan yang
bersih, dan semangat kesederhanaan.

Sangat disayangkan jika momentum Idul Fitri ini
dilewatkan begitu saja. Semua pihak, pejabat,
politikus, cendekiawan, dan segenap lapisan
masyarakat, kiranya dapat memanfaatkan momentum Idul
Fitri dengan mengaktualisasikannya menjadi kehidupan
baru menurut proporsi masing-masing. Dengan nilai
kejujuran, misalnya, akan menghentikan niat untuk
melakukan korupsi dan kolusi. Dengan nilai
kesederhanaan, contoh lain, akan meniadakan kebiasaan
hidup boros dan bermewah-mewah. Dengan nilai-nilai
toleransi, tidak ada lagi kehendak untuk memenangkan
kelompok dan golongannya sendiri. Selamat Idul Fitri.
Maaf lahir dan batin, dari TAMBAH GUNAWAN dan Keluarga
di Bumiayu Jateng Indonesia.



____________________________________

17 April 2009

ISTILAH INDON MUNCUL SEBAGAI BENTUK PELECEHAN ( Kompas 17 April 2009 )

upacara hut ri di kbr yangon myanmar 2006 (atas)


Fokus
Negeri di Seberang Parit
Koran "Kompas" halaman 1 ,Jumat, 17 April 2009 | 03:15 WIB


Istilah Indon yang dilekatkan oleh orang-orang dari Tanah Semenanjung untuk menyebut segala yang berbau Indonesia agaknya akan tetap jadi batu sandungan hubungan antardua negara bertetangga ini. Dalam dua kesempatan dialog terbuka Indonesia-Malaysia di Jakarta, beberapa waktu lalu, kecenderungan itu tak bisa ditampik.

Ketidakpuasan Indonesia, yang disuarakan sejumlah narasumber dan peserta dialog, terutama karena secara antropologis-sosiologis istilah Indon muncul sebagai bentuk pelecehan. Meski coba diredam dengan argumentasi bahwa Indon hanya semacam sebutan, sekadar bentuk singkat alias kependekan dari pengucapan nama Indonesia, kesan dan persepsi yang mencuat tetap saja istilah tersebut bernuansa diskriminatif.

Sampai-sampai muncul pertanyaan: apa sulitnya bagi orang Malaysia mengucapkan kata Indonesia secara lengkap, dalam satu tarikan napas, tanpa harus disingkat jadi Indon yang terkesan merendahkan itu? Kalau Indon benar-benar sekadar sebutan, mengapa untuk orang-orang Indonesia terdidik, mereka yang ”memberi” ilmu kepada Malaysia, tidak dipanggil Indon, tetapi dikatakan orang Indonesia?

Adapun para pembesar Malaysia ”berdarah” Indonesia, mereka bukan saja tidak lagi disebut sebagai Indon, bahkan kini semata-mata dilihat hanya sebagai orang Malaysia. Asal usul ”keindonan” mereka sudah dilupakan.

Sebutlah seperti Tan Sri Ismail Hussein, tokoh cendekia asal Aceh yang sangat terkenal di Negeri Jiran itu. Begitu pula sosok Sahnon Ahmad—pengarang ternama yang ditasbihkan sebagai Sastrawan Negara—asal Sumatera Utara yang juga tak pernah disebut Indon. Apatah lagi tokoh sekaliber Najib Razak (PM Malaysia saat ini) yang bernenek-moyangkan orang Bugis-Makassar dan beristrikan wanita bergaris keturunan Minang.

Apa boleh buat, istilah Indon—diakui atau tidak oleh pemerintahan di kedua negara—kini telah menjadi isu sensitif dalam hubungan antarbangsa serumpun ini. Sepanjang istilah ini masih ada dan subur berbiak, hubungan kesetaraan antarkedua bangsa ikut terganggu.

Faktor kelas

Mengapa Indon? Sejauh ini memang belum ada penjelasan berbasis akademis oleh mereka yang mengkaji tentang alam Melayu. Pembelaan dari pihak Malaysia hanya menyebutkan, ”Indon itu cuma singkatan, seperti halnya Thai untuk orang Thailand atau Viet untuk orang Vietnam.” Benarkah?

Al Azhar dari Pusat Penelitian Universitas Riau cuma bisa berbagi pengalaman empirik. Menurut dia, paling tidak secara antropologis istilah Indon di kalangan orang-orang Malaysia dicirikan sebagai orang-orang asal Indonesia yang tinggal di stinggan, yakni istilah untuk mereka yang berada di tempat binaan darurat atau rumah-rumah darurat. Indon juga diidentikkan dengan mereka yang bekerja sebagai buruh kasar—termasuk pembantu rumah tangga—dan di perkebunan.

”Lebih parah lagi, dalam benak kebanyakan orang Malaysia, Indon itu, ya, mereka yang suka bikin ribut dan berwatak ganas. Kalau ada perampokan, Indon-lah itu. Jadi, Indon itu memang sebuah istilah, tetapi istilah yang menyakitkan,” kata Al Azhar, pekerja budaya Riau yang kerap diundang sebagai pensyarah di berbagai pertemuan di Malaysia.

Khadidjah binti Md Khalid dari Institut Antarbangsa Polisi Awam dan Pengurusan Universiti Malaya melihat, munculnya istilah Indon tidak terlepas dari faktor kelas sosial. Di kalangan masyarakat menengah Malaysia, sehari-hari mereka ini memang banyak berhubungan dengan orang-orang Indonesia dari kelas bawah. Taruhlah seperti pembantu rumah tangga atau buruh konstruksi.

Interaksi atasan-bawahan inilah yang menimbulkan kesenjangan. Di sini persoalannya bukan lagi isu serumpun atau tidak, tetapi lebih sebagai relasi antara majikan dan pekerja.

”Kalau ibu-bapak dari kalangan kelas menengah ini menyebut Indon kepada pembantunya, anak-anak mereka pun ikut. Ini yang sangat saya khawatirkan. Anak-anak itu nantinya hanya tahu apa yang ada di sekitar mereka, lalu mereka lupa adanya kalangan profesional Indonesia,” kata Khadidjah.

Kekhawatiran Khadidjah sangat beralasan. Hasil tinjauan awal yang dapat ia simpulkan, saat ini umumnya kalangan generasi muda Malaysia tidak berminat untuk mengenali satu sama lain dalam kaitan hubungan antarkedua bangsa. Apatah lagi soal sejarah masa silam di kedua wilayah serumpun ini, yang sepertinya sudah menguap dan dianggap barang lapuk.

”Sekarang, di Malaysia sejarah dianggap tidak penting. Orang Melayu (kini) sangat materialistik, uang segala-galanya,” kata Khoo Kim Kay, anggota EPG Malaysia yang tampil pada kesempatan berbeda.

Otokritik Khoo dan Khadidjah patut dihargai. Akan tetapi, di sisi lain, persoalan serupa sesungguhnya menimpa kalangan di Indonesia. Sikap emosional dalam menyikapi setiap persoalan, yang dalam banyak kasus kerap tidak disertai pemahaman yang benar dan menyeluruh atas sebuah persoalan, malah ikut menyulut sikap permusuhan.

Dalam kasus warisan budaya bersama, misalnya, upaya Malaysia ikut menumbuhsuburkan (baca: sejauh tidak mengklaim) ekspresi budaya yang ada dan hidup di kedua negara disalahkan. Padahal, kita sebagai anak bangsa justru tidak merawatnya.

Dalam dua forum dialog antara Indonesia dan Malaysia di Jakarta, September 2008 dan Maret 2009, suasana ”panas” memang ikut mewarnai pertemuan antarwakil dari negara masing-masing. Tak masalah. Perbedaan adalah realitas yang harus dihargai, sejauh tidak menjadi benih permusuhan.

Lewat sejarah kita diingatkan, bagaimanapun, kedua bangsa ini pernah berada dalam satu perahu kenusantaraan. ”Tak ada Melaka tanpa Palembang, tak ada Malaysia tanpa Indonesia,” kata Haron Daud dari Universitas Kebangsaan Malaysia.

Bahkan, secara fisik dan emosional, bagi orang-orang di Riau dan Kepulauan Riau, sebagaimana dikemukakan Al Azhar, Malaysia hanyalah negeri yang berada di seberang parit. Mengutip petikan pantun budayawan Melayu, Tenas Effendi, Al Azhar pun berdendang: Ketugu batang ketakal/Ketika keladi moyang/Sesuku kita seasal/Senenek kita semoyang.... (ken)

27 March 2009

KECAMATAN BUMIAYU - BREBES JATENG INDONESIA (www.wikipedia.com)









n











Bumiayu adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Bumiayu merupakan pusat aktivitas masyarakat di bagian selatan Kabupaten Brebes seperti Tonjong, Sirampog, Bantarkawung, Salem, dan Paguyangan. Kecamatan ini berada di daerah dataran tinggi, dan dilalui jalur transportasi utama Tegal-Purwokerto, serta jalur kereta api Jakarta-Cirebon-Purwokerto-Yogyakarta-Surabaya.

Di Bumiayu terdapat Pasar Wage, yaitu pasar yang hanya buka setiap lima hari sekali menurut hari pasaran Kalender Jawa. Di kota Bumiayu, sebagian besar masyarakat Bumiayu memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Kawasan perdagangan kota Bumiayu yang membentang dari Talok hingga Jatisawit. Pasar di Bumiayu adalah Pasar Talok, Pasar Bumiayu, Pasar Majapahit, dan Pasar Jatisawit.

Untuk mengurangi kemacetan di kota Bumiayu, Pemerintah Kabupaten Brebes membangun jalan Lingkar Selatan, yang dibangun di sebelah timur wilayah perkotaan Bumiayu. Jalan tersebut terbentang mulai dari Talok hingga Pagojengan Kecamatan Paguyangan.






























19 March 2009

MUDIK KE KAMPUNG HALAMAN BUMIAYU BREBES JATENG, PEBRUARI 2009


PEMANDANGAN ALAM TIMUR BUMIAYU DARI SETASIUN TALOK BUMIAYU





JALAN H.AHMAD DAHLAN , SMA MUHAMADIYAH KALIERANG BUMIAYU


GUNUNG SLAMET DIFOTO DARI KALIERANG BUMIAYU










antara Bumiayu dan Linggapura
dukuh Blere Adisana difoto dari Jalan Lingkar Bumiayu (atas)

Pada akhir Pebruari 2009 bersama isteri dengan kereta api Purwajaya dari setasiun Jatinegara pukul 6 pagi berangkat ke Bumiayu Jateng, sampai di Bumiayu pukul 10.30. Terasa hati ini adem ayem melihat kampung halaman Bumiayu, dengan angkot sampai di rumah Jalan HA Dahlan Kalierang Bumiayu.
Lusanya sempat ke Purwokerto, serta ditengah jalan dari dalam mobil sewaan dan kadang keluar mengambil gambar pemandangan serta momen yang cantik dan indah dari mulai setasiun Bumiayu sampai kota Bumiayu. Anda bisa lihat hasilnya, yah lumayanlah buat obat kangen kampung halaman Bumiayu Jawa Tengah.


kebun teh Kaligua Bumiayu

santai ke Bumiayu dengan kereta api Purwajaya 4 jam, dari Jakarta

setasiun Bumiayu


kesibukan kota kecil Bumiayu
dokar angkutan murah meriah di Bumiayu

lokasi tempat usaha kecil untuk mengisi masa pensiun di Jl. HA Dahlan ,( depan SMA Muhamadiyah ) Kalierang Bumiayu Jateng





alam pedesaan yang adem ayem
gunung slamet difoto dari depan rumah di Kalierang Bumiayu
perempatan Jalan Lingkar Bumiayu- Langkap

terminal Bus Bumiayu dari arah Purwokerto
menjelang pagi di terminal bus Bumiayu
terminal bus Bumiayu dari arah Tegal

jalan lingkar Bumiayu di bawah jembatankereta api sakalibel
jembatan saka lima belas (sakalibel) di Bumiayu Jateng
Desa Adisana, pemandangan sepanjang jalan lingkar Bumiayu